Kesetaraan Jender Dalam Presfektif Islam

Tahun 2008, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mengatakan bahwa 11,4 persen dari penduduk Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami korban kekerasan rumah tangga atau domestic violence.
Sedangkan dari angka tersebut hanya 15,2 persen perempuan yang menempuh jalur hukum, sebanyak 45,2% memutuskan pindah rumah dan hanya 10,9 persen memilih diam. Bahkan sekarang berbagai tayangan media masa dan komunikasi sedang digemparkan oleh sebuah kasus yang sangat aktual dan fenomenal yaitu kasus kekerasan rumah tangga yang menimpa putri Indonesia Nyonya MONALISA. Saking fenomenalnnya ksus tersebut, sampai-sampai Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono langsung turun tangan mengnyikapi sekaligus menyelesaikan problem tersebut. Yang jadi pertanyaan bagi kita, mengapa hal ini kerap sekali terjadi di negara kita? Menurut hasil renungan saya, yang menjadi akar permasalahan ini adalah karena paradigma berpikir yang salah tentang Gender, yang selama ini selalu membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, yang selama ini memilah-milah laki-laki dan perempuan bahkan mediskriminasikan dan memarginalkan perempuan. Al-hasil, laki-laki tampil laksana raja yang gagah dan berkuasa sedangkan perempuan tampil bagaikan budak belian yang hina dina dan tidak punya kekuasaan apa-apa. Lantas bagaimana islam menyikapai kasus tersebut? Oleh karena itu, sebuah topik yang akan kami uraikan pada kesempatan kali ini yaitu Kesetaraan Gender Perspektif Islam. Dengan landasan firman Allah, al-Quran surat an-Najm ayat: 45
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى - 45
”Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan”.

Secara redaktif, ayat ini diawali oleh kalimat ”anna” yang berfungsi sebagai penegasan. Sedangkan secara semantik, ayat ini merupakan bentuk kalam khobari yaitu suatu ucapan yang berfungsi untuk memberikan informasi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Hasyimi dalam Jauhar balagah halaman 54:

إفادة المخاطب الحكم الذى تضمنته الجملة
“memberikan informasi kepada mukhotob akan suatu hokum yang terkandung di dalam ucapan tersebut”

Dengan demikian berdasarkan analisa bahasa tersebut dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa ayat tersebut memberikan informasi yang sangat penting tentang informasi yang ingin disampaikan oleh Allah kepada kita. Lalu apa informasi penting tersebut? Yaitu bahwa Allah telah menciptakan manusia secara berpasangan yaitu dari jenis ”dzakar” dan ”al-untsa”.
Kalu kita teliti, secara bahasa ”al-dzakaru” memiliki makna alat kelamin laki-laki, sedangkan lafadz” al-unsa yaitu dari kata al-anits” yang memiliki makna alat kelamin perempuan. Kedua lafadz tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa al-Quran, yang merupakan referensi kehidupan kita telah menunjukan bahwa islam mengakui adanya perbedaan dalam kelamin-laki-laki dan perempuan secara biologis, sedangkan islam tidak membeda-bedakan atara keduanya dalam tatanan kehisupan sosial.

Konsefsi islam pertama untuk menyelesaikan masalah gender yakni dengan menanamkan paradigma androgini-yaitu paradigma penyetaraan atau kesamaan peran laki-laki dan perempuan. Andai, kaum feminis pada tahun 1970 an, baru memulai mensuarakan pola endidikan Androgini, ternyta 14 abad yang lalu Islam telah menancapkan panji pembebasan terhadap kaum wanita sekaligus mengangkat derajat kaum perempuan dalamkehidupan.

,alam perspektiv yang pertama, Allah berfirman: Dalam perspektiv ini, manusia (laki-laki dan perempuan) tidak berbeda dengan makhluq Allah yang lain. Perempuan termasuk dari golongan manusia, sedangkan betina berasal dari golongan hewan. Keduanya sama-sama mempunyai susunan fisiologis yang bisa menerima pembuahan, bisa hamil dan melahirkan, menyusui dan punya kemampuan untuk membina keturunan. Dalam konteks ini, perempuan dan betina sama saja. Sedangkan laki-laki adalah pasangannya perempuan, lawan jenisnya, dan berinteraksi dengannya dalam hubungan yang saling mempengaruhi. Laki-laki mempunyai potensi untuk membuahi. Dan dalam konteks ini, laki-laki tidak berbeda dengan hewan jantan.

al-Hujurot ayat 13.


يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,”

Secara redaktif ayat tadi diawali dengan harfu nida ”ya ayyuha” sedangkan sebagai munadanya adalah lafad ”an-nas” yaitu manusia. Menurut para ahli semantik, ketika suatu ayat diawali dengan kalimat ”Ya ayyuhannas” ini memberikan indikasi ”khitobu li jamiil basyar” yaitu sasarannya kepada semua manusia baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan secara subtantif, penggunaan kalimat nida dalam ayat ini memberikan isyarat kepada kita –sebagai pendengar- agar kita memperhatikan dan memfokuskan perhatian terhadap pesan yang akan disampaikan. Adapun pesan ayat ini yaitu:

إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnnya kami telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, kemudian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tujuannya adalah untuk saling mengenal, serta yang paling mulia di hadapan kami hanyalah orang yang bertaqwa.

Dengan demikian berdasarkan analisa tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa islam merupkan agama yang telah mendeklarasikan konsef androgini-yaitu suatu pemahaman yang menyetarakan posisi laki-laki dan perempuan - sebelum dideklarasikan oleh kaum feminis. Bahkan dalam ayat diatas Allah menyebutkan kalimat ”al-dzakaru wal-unsa” yang secara bahasa ”ad-dzakar” yaitu alat kelamin laki-laki, dan ”al-uns” adalah alat kelamin perempuan. Ini menegaskan kepada kita bahwa islam mengakui adanya perbedaan laki-laki dan perembpuan dari aspek biologis, sedangkan dalam tatanan sosial islam tidak membeda-bedakan keduanya.

Paradigma islam untuk menyelesaikan masalah gender dalam kehidupan kita. Al-hasil, islam tidak pernah melebihkan salah satu jenis dari jenis yang lain, kecuali dengan kualitas amal-perbuatannya sebagai standar penilaian. Berarti, kaum perempuan mempunyai derajat yang sama dengan kaum lelaki. Ia juga mempunyai hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menyalurkan keinginan dan aspirasinya, selama situasinya memungkinkan.

Lalu bagaimanakah solusi berikutnya untuk mengantisipasi problem tersebut?
Ad-zariyat: 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Al-isro: 70
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Al-baqoroh: 322
Bahwa sistem perbudakan adalah pilar perekonomian masyarakat Arab pada waktu itu. Sehingga, penghapusan sistem ini akan sangat mengganggu roda perekonomian ummat dan menimbulkan reaksi destruktiv terhadap dawah Islam. Bandingkan saja, misalnya, dengan Keputusan Presiden Amerika, Abraham Lincoln, yang secara tiba-tiba menghapuskan sistem perbudakan. Ternyata, Keppres tersebut secara serta merta mengobarkan perang sipil yang berkepanjangan dan memakan banyak korban. Karena itu, dengan penuh kebijaksanaan, ajaran Islam menghapuskannya secara evolutiv, seraya memposisikan orang yang takwa dalam derajat kemuliaan =97walaupun ia budak=97= dan mendorong ummatnya untuk membebaskan budak (fakk raqabah). + Perempuan dalam Islam bukan berkedudukan sebagai budak laki-laki (raq=EEqah), melainkan pasangan hidup

Karena itu Nasaruddin Umar mengatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya; suatu bentuk rekayasa masyarakat (sosial constructions)(9), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki ataupun perempuan yang dibentuk oleh lingkungan dan kondisi sosial-budaya. Misal, perempuan dikenal lemah lembut, emosional, dan lemah. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat dipertukarkan, artinya ciri dan sifat-sifat tersebut dapat berubah dan terjadi dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, dan dari satu kelas ke kelas lain.
Gender differences (perbedaan gender) antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedan gender dikarenakan oleh berbagai hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi, dan perbedaan-perbedaan gender dianggap dan difahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Sebaliknya sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya mempengaruhi konstruksi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, sifat gender kaum laki-laki harus kuat dan agresif, sehingga konstruksi sosial itu membuat laki-laki terlatih dan termotifasi menuju serta mempertahankan ke-sifat yang ditentukan tersebut, akhirnya memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar, sebaliknya konstruk sosial bahwa kaum perempuan harus lemah lembut. Maka sejak bayi sosialisasi tersebut mempengaruhi perkembangan emosi, visi, idiologi serta perkembangan fisik dan biologis mereka, karena proses sosialisasi yang berjalan secara mapan akhirnya sulit dibedakan apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau kodrat biologis.

Solusi Islam tentang Gender
Al-Qur’an, sebagai sumber paling utama teks dalam Islam menurut Nasaruddin Umar sebenarnya sangat sensitif gender, apabila melihat tentang subtansi kejadian manusia, bahwa awal pembentukan manusia dalam derajat manusia sama. Lalu dari segi pengabdian/derajat dalam Al Qur’an diukur bukan dengan jenis kelamin melainkan melalui tingkat ketaqwaan manusia kepada Allah. Dan dari sisi kemanusiaan, Al Qur’an memposisikan manusia dalam bentuk dan derajat yang paling mulia. Dari kajian itu dapat disimpulkan bahwa Islam sejak awal berusaha menghapus ketidakadilan gender.

Islam adalah ajaran agama yang menggunakan prinsip-prinsip universal, seperti keadilan dan persaudaraan. Pada masa permulaan Islam (the proto Islamic law) kebebasan perempuan mulai dapat terlihat. Nabi Muhammad pada masa itu sudah mendemonstrasikan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam aktivitas sosial, mulai kewirausahaan, politik, sampai peperangan.
Maka, risalah Rasulullah saw menitikberatkan kepada manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat. Tetapi secara teologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (Alam), dan Tuhan, sehingga, manusia bisa mencapai derajat hamba (abdi) sesunguhnya

Tujuan pendidikan Islam bisa dioptimalkan melalui perumusan kembali tujuan pendidikan yang tidak mengarah kepada bias gender. Yaitu dengan lebih memprioritaskan kepada:

Peneguhan Nilai Kemanusiaan. Pada dasarnya, pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Pendidikan diadakan dari, oleh dan untuk manusia dan dimaksudkan untuk merubah segala perilaku manusia dari perilaku barbarian menjadi perilaku yang lebih beradab. Maka dari itu, rumusan tujuan pendidikan Islam harus mempunyai standarisasi yang selalu terkait erat dengan persoalan kemanusiaan tanpa membedakan jenis kelamin. Peneguhan nilai kemanusiaan tidak dimaksud dengan serta merta untuk menghilangkan aspek ilahiyah dalam rumusan pendidikan Islam, karena setiap ajaran agama manapun pasti akan selalu terkait dengan aspek ketuhanan. Nilai kemanusiaan perlu diberi ruang cukup sebab dengan nilai ini, keadilan sosial dapat terwujud.

Pengembangan Pengetahuan. Pada prinsipnya setiap manusia dibekali dengan kemampuan dasar (fitrah). Dengan kemampuan ini setiap manusia mempunyai potensi untuk mengembangkan kemampuan yang ia miliki. Pengembangan kemampuan pada potensi manusia dimaksudkan untuk senantiasa mengasah nalar dan kemampuan (skill) demi keberlangsungan kehidupan di bumi. Dengan pengetahuan manusia dapat mengatasi segala masalah yang sedang dihadapi atau masalah yang akan datang. Pengembangan pengetahuan disamping untuk mendidik umat, juga dimaksudkan untuk mengembangkan sistem pendidikan Islam secara dinamis agar tidak tertinggal dengan sistem pendidikan yang lain. Umat Islam harus dipacu dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Karena ketertinggalan pendidikan Islam lebih sering karena kurangya inovasi dan kreatifitas dalam sistem pendidikan Islam. Atas dasar kerangka ini rumusan tujuan pendidikan Islam disusun, dengan harapan adanya peningkatan kualitas dalam pendidikan Islam.

Membentuk Kesadaran Individu yang Mempunyai Kepekaan Sosial. Pembentukan kesadaran individu perlu diperhatikan dalam rumusan tujuan pendidikan Islam. Seorang muslim secara umum, disamping mempunyai kesadaran pribadi, harus pula mempunyai kepekaan terhadap perkembangan jaman. Pendidikan Islam seharusnya disamping bertujuan membentuk insan kamil(13) turut andil dalam pembentukan individu yang memiliki kepekaan sosial terhadap pembentukan keadilan dimuka bumi. Rumusan pendidikan Islam yang hanya berorientasi pada pembentukan insan kamil dalam artian transendental saja tidak cukup. Karena realitas sosial tidak bisa hanya melalui pribadi-pribadi yang sempurna secara transenden. Islam adalah ajaran yang menciptakan keadilan tidak hanya untuk membentuk individu secara sempurna dalam arti yang sebenarnya, melainkan turut serta dalam pembentukan sistem sosial. Pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembangunan individu melalui terwujudnya insan kamil, harus segera ditambah orientasinya dengan kepekaan sosial, jadi kurang lebih insan kamil yang mempunyai kepekaan sosial, manusia sempurna yang memiliki kepekaan sosial. Karena itu harus ada keseimbangan. Keseimbangan di sini bukan berarti melanggengkan stabilitas tanpa mengadakan perubahan, karena stabilitas pada gilirannya menjadi senjata ampuh untuk membungkam perempuan dan melanggengkan kekuasaan laki-laki di atasnya.
Para aktifis feminis mengenalkan metode yang tidak mengandung bias gender dan diberi nama metode androgini (androgyny).

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!