Konsep Kepemimpinan Dalam Islam

Ditengah hiruk pikuk menjelang pemilihan presiden, alangkah baiknya kita sekarang ini mengkaji kembali tafsir atas konsep kepemimpinan yang langsung diambil dari sumbernya, Alqur’an dan Hadis. Sebagai upaya sebatas kemampuan manusia,
tafsir tidak pernah lepas dari konteks pengetahuan, kondisi sosial dan politik. Karena itu, sejarah peradaban Islam mengenal berbagai ragam penafsiran, baik dalam satu disiplin ilmu, apalagi dalam disiplin ilmu yang berbeda.

Tafsir sebagai metode ijtihad untuk memahami maksud Allah SWT dalam kaitannya dengan realitas sosial yang berkembang, pasti bersifat dinamis dan relatif. Dinamis artinya bergerak mengikuti tuntutan realitas dan relatif berarti kebenarannya tidak bersifat mutlak, tetapi terkait dengan konteks sosial tertentu. Tafsir-tafsir yang terkait dengan fenomena alam dan sosial tidak bersifat final dan mutlak. Sepanjang peradaban Islam, tafsir-tafsir ini mengalami perubahan dan penyesuaian dengan bukti-bukti pengetahuan alam dan sosial.
Hal yang sama juga terjadi pada tafsir-tafsir persoalan sosial kemasyarakatan. Misalnya, soal qawwam (kepemimpinan). Dalam wacana keagamaan yang dominan, kepemimpinan Islam (khilafah) harus dipegang orang-orang Quraisy. Bahkan, jika ada orang yang meyakini kebolehan kepemimpinan di luar suku Quraisy, ia termasuk orang yang sesat (bid’ah) dan keluar dari kelompok yang selamat [lihat: asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, I/108]. Konsepsi ini didasarkan pada beberapa ayat yang memuji orang-orang Muhajirin, hadits kepemimpinan Quraisy dan kesepakatan sahabat pada masa itu terhadap model kepemimpinan yang seperti itu. Konsepsi kepemimpinan ini pada akhirnya dikritik habis oleh Ibn Khaldun. Menurutnya, kepemimpinan Quraisy tidak berarti harus dari suku Quraisy tetapi pada karakteristik kepemimpinan Quraisy yang kharismatik, tegas, kuat dan tangguh. Pokok persoalan kepemimpinan bukan pada orang-orang Quraisy, tetapi pada sifat dan karakter yang memungkinkan seseorang layak untuk menjadi pemimpin, sama seperti karakter yang dimiliki suku Quraisy pada saat itu.[Al-Qaradhawi, Kayfa Nata’amal ma’a as-Sunnah, 1999: IIIT, Cairo, Mesir, halaman 130.].
Dalam aspek kekuasaan, Anwar berpendapat kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin adalah elemen penting dalam usaha untuk membuat sesuatu. Sekalipun orang itu mempunyai ide dan wacana yang baik tetepi jika tidak mempunyai kuasa dan kedudukan akan sulit melaksanakan gagasan tersebut. Dari segi perbandingan kuasa dan ide pula beliau berpendapat ide lebih penting dari kuasa dan kedudukan kerana kuasa ini hanyalah sarana untuk menyalurkan ide tersebut.
Anwar Ibrahim menekankan bahwa pemimpin dan masyarakat haruslah memiliki ilmu dan pengetahuan yang tinggi dan berupaya mempraktekkan ilmu yang baik itu dalam kehidupan. Menurutnya, suatu bangsa itu telah dapat mempengaruhi negara dan bangsa lain yang lebih besar dan kuat kerana pengaruh dan kekuatan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.Beliau berpendapat Ilmu pengetahuan itu harus memberi makna kepada diri manusia dan kemanusiaan.
Dalam usaha menangani perubahan, pemimpin perlu mempunyai kebijaksanaan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya. Bagaimanapun perubahan harus berlandaskan nilai universal yang mutlak yang diakui oleh Islam dan agama lain sebagai baik dan mampu memberi kesahjeteraan kepada manusia. Selain kegiatannya yang cukup menonjol dalam bidang politik, Anwar banyak membahas berbagai-bagai gagasan termasuk masyarakat madani. Beliau menghasilkan dua buah buku berjudul Menangani Perubahan dan Gelombang Kebangkitan Asia.
Sama halnya dengan tafsir mengenai relasi laki-laki dan perempuan, terutama konsepsi qiwâmah atau qawwâm yang sering dijadikan dasar legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan, dan pelarangan kepemimpinan perempuan atas laki-laki. Tafsir ini harus diletakkan pada konteks di mana ayat itu dipahami oleh masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai sosial yang berkembang pada saat itu. Konsepsi qiwâmah adalah persoalan tafsir, bukan persoalan perintah ayat atau ketentuan Allah SWT. Karena setelah Nabi Muhammad Saw wafat, tidak ada seorangpun yang berhak mengklaim sebagai juru bicara Allah SWT, atau orang yang paling mengerti terhadap maksud Allah SWT dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, semua konsepsi yang ditawarkan juga adalah tafsir atau ijtihad, yang tentu bersifat kontekstual, tidak mutlak dan dinamis. Dengan mempertimbangkan pada perubahan sosial masyarakat yang terjadi sedemikian rupa, konsepsi qiwâmah perlu dirumuskan kembali. Yaitu rumusan yang mengakomodasi dua hal sekaligus; dasar-dasar tafsir yang dikembangkan ulama salaf (al-‘ulûm an-naqliyyah) dan pertimbangan rasional terhadap realitas sosial (al-‘ulûm al-‘aqliyyah).
Penafsiran ulang terhadap konsepsi qiwâmah ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat prinsipal. Yaitu, ayat-ayat kemanusiaan, keadilan dan kesederajatan. Misalnya yang secara eksplisit ditegaskan al-Qur’an adalah tiga hal. Pertama, bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan sebagai manusia dari entiti [nafs] yang sama (QS. An-Nisa, 4:1), karena itu kedudukan mereka sama dan sejajar, yang membedakan hanyalah kwalitas kiprahnya [taqwa] (QS. Al-Hujurat, 49:31). Kemanusiaan keduanya harus dihormati dan dimuliakan, tanpa membedakan yang satu terhadap yang lain (QS. Al-Isra, 17: 70). Kedua, perempuan dan laki-laki sama dituntut untuk mewujudkan kehidupan yang baik [hayâtan thayyibab] dengan melakukan kerja-kerja positif [‘amalan shalihan] (QS, An-Nahl, 16:97). Untuk tujuan ini, diharapkan perempuan dan laki-laki bahu membahu, membantu satu dengan yang lain (QS. At-Taubah, 9:71). Ketiga, bahwa perempan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memperoleh balasan yang layak atas kerja-kerja yang dilakukan (QS. Al-Ahzab, 33:35). Dengan mendasarkan pada ayat-ayat prinsip ini, konsepsi qiwâmah yang ditawarkan adalah yang memandang kemanusiaan perempuan, sama seperti memandang kemanusiaan laki-laki.
Dengan mendasarkan pada semangat ini, konsep qiwâmah –yang didasarkan pada QS. An-Nisa, 4: 34- yang melarang kepemimpinan perempuan harus dikaji ulang. Konsepsi qiwâmah ini, merupakan persoalan parsial yang pemaknaanya harus dikaitkan dengan ayat yang prinsipal. Ia terkait dengan realitas sosial yang berkembang pada saat itu. Konsepsi qiwâmah laki-laki atas perempuan, hanya bisa dibenarkan ketika potensi kepemimpinan nyata tidak dimiliki oleh perempuan yang ada pada saat itu. Atau ketika kepemimpinan seorang perempuan, tidak memiliki kekuatan sosial politik dan manajerial yang menjamin kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Persoalannya bukan pada jenis kelamin, tetapi pada kemampuan, keahlian dan kekuatan riil sosial politik. Tafsir ini bisa dilakukan dengan memposisikan qiwâmah laki-laki atas perempuan sebagai persoalan parsial, yang harus ditundukkan pada ayat-ayat prinsip mengenai kemanusiaan dan kesederajatan.
Kata qiwâmah sendiri, atau tepatnya qawwâmûna disebutkan tiga kali dalam al-Qur’an. Pada surat An-Nisa 4: 34 dan 135, serta surat al-Maidah, 4: 8. Pada sebutan yang pertama qiwâmah sering diartikan beberapa pihak sebagai kepemimpinan. Sementara pada yang kedua dan ketiga qiwâmah berarti komitmen pembelaan dan ketegasan. Jika konsisten, mestinya qiwâmah pada surat an-Nisa ayat 34 juga harus diartikan komitmen ‘pembelaan’ bukan kepemimpinan. Sehingga qiwâmah laki-laki atas perempuan berarti komitmen pembelaan terhadap perempuan. Imam Fakhruddin ar-Râzi sendiri mengartikan qawwâm dengan tanggung jawab pengelolaan, pemeliharaan dan perhatian terhadap kepentingan perempuan [alladzî yaqûmu bi amrihâ wa yahtammu bi hifzhihâ, ar-Râzi, at-Tafsîr al-Kabîr, IX/34]. Dengan demikian, konsepsi qiwâmah dalam surat an-Nisa ayat 34 tidak bisa menjadi landasan bagi pelarangan kepemimpinan perempuan. Ia juga bukan sebagai penegasan terhadap kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Laki-laki disebutkan dalam ayat qiwâmah, karena ia –seperti disebut dalam ayat- yang pada saat itu memiliki kemampuan dan bisa memberi nafkah. Karena itu, hak qiwâmah laki-laki atas perempuan, hanya bisa dibenarkan ketika ia bisa memberikan nafkah. Tetapi ketika tidak mampu maka hak itu menjadi gugur. Berarti, persoalan qiwâmah bukan pada jenis kelamin, tetapi pada persoalan kemampuan ekonomi serta keahlian.
Tafsir keagamaan yang melarang kepemimpinan di luar suku Quraisy lahir dari budaya yang tidak memandang manusia dari berbagai suku secara sederajat dan setara. Sama halnya dengan tafsir yang melarang kepemimpinan perempuan, ia lahir dari budaya yang memandang jenis kelamin secara berbeda. Yang pertama dikritik ulama, karena tidak sesuai dengan kenyataan di mana di luar suku Quraisy juga banyak yang mampu dan memiliki karakter pemimpin. Yang kedua juga harus dihentikan karena tidak sesuai dengan kenyataan bahwa perempuan bisa sukses menjadi pemimpin. Lebih dari itu, ia tidak sejalan dengan ayat-ayat prinsip mengenai kemanusiaan, keadilan dan kesederajatan. Konsep qiwâmah atau qawwâm, ketika diartikan sebagai kepemimpinan, ia tidak terkait dengan ras, suku, dan jenis kelamin tertentu. Kepemimpinan adalah persoalan keahlian, kemampuan, dan tentunya, visi serta kekuatan riil politik masing-masing calon pemimpin. Selamat memilih! Wallahu a’lam.

related:

Daftar Pustaka
Al-Mawardi, 2000. Ahkam al-Shulthaniyah fi al-Wilayat al-Diniyah. Jakarta: Darul Falah.
Amirudin, Hasbi, 2000. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta;UII Press.
Ibnu Taimiyah, 1998. Siyasah Syar`iyah, Etika Politik Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Moten, Abdul Rasyid dan Syed Sirajul Islam, 2005. Introduction to Political Science. Australia: Thompson.
Rizwan Haji Ali, M, 2001. Pemberontakan terhadap Negara Islam dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi Sarjana. Lhokseumawe: STAI Malikussaleh.
Salim, Abdul Muin, 2002. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur`an. Jakarta: Rajawali Press.
Tansey, Stephen D, 1995. Politics: The Basics. London: Routledge.
Thaib, Lukman, 2001. Politik menurut Perspektif Islam. Selangor DE: Sinergymate, sdn.bhd.
Yusuf Musa, Muhammad, 1988. Organisasi Negara Menurut Islam. Banda Aceh: Proyek Penterjemahan MUI Prop. D.I. Aceh).
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, 1993, Kepemimpinan dalam Islam, UGM Pres, Yogyakarta
Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, 1995, Kepemimpinan Yang Efektif, UGM. Cet. II, Yogyakarta.
Frances Hesselbern, Marshall Gold Smith, Richard Beckhard (ed), 1997, The Leader Of The Future, Pemimpin Masa Depan, alih bahasa: Drs. Bob Widyahartono, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Hans Antlov dan Sven Cederroth, 2001, Kepemimpinan Jawa, (Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter) Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Drs. Adam Ibrahim Indrawijaya, MPA & Dra. Hj. Wahyu Suprapti, MM., 2001, Kepemimpinan Dalam Organisasi, Lembaga Administrasi Negara.RI. Jakarta.
Dra. Hj. Sri Murtini, MPA & Drg. Judianto, M.Ph., 2001, Kepemimpinan Di Alam Terbuka, Lembaga Administrasi Negara. R.I. Jakarta.
Bernardine R. Wirjana, M.S.W. & Prof. Dr. Susilo Supardo, M.Hum. 2002, Kepemimpinan (Dasar-dasar dan Pengembangannya), ANDI, Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!