Peripatetisme

Filsafat peripatetik dapat kita lihat pada gejala Aristotelianisme. Para filsuf Islam yang masuk dalam kategori filsuf peripatetik diantaranya adalah Ibnu Bajjah (wafat 533 H/ 1138 M), Ibnu Tufail (wafat 581 H/ 1185 M) dan Ibnu Rushd (520-595 H/1126-1198 M). Abad ke-11 menjadi saksi atas munculnya sejumlah ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar ilmiah yang genuine. Puncak dari perjalanan ini ada pada kelahiran kembali Aristotelianisme. Peripatetik yang dalam bahasaArab dikenal dengan nama al-Masyai’yyah berarti orang yang berjalan diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan dalam mengajar.

Untuk melihat corak filsafat peripatetik, ada baiknya bila kita melihat beberapa filsuf yang berasal dari wilayah barat ini sekilas. Ibnu Bajjah yang dikenal Avempace dalam bahasa latin telah menempatkan diri sebagai filsuf yang berdiri pada tradisi Neoplatonik-Peripatetik yang diperkenalkan oleh al-Farabi. Bagi Ibnu Bajjah, al-Farabi adalah satu-satunya guru logika, politik dan metafisika yang berasal dari wilayah timur. Tampaknya Ibnu Bajjah memiliki hubungan yang cukup dekat dengan filsuf wilayah timur yang satu ini. Hal ini dapat kita lihat juga pada karya Ibnu Bajjah yang berjudul Tadbir al-Mutawahhid yang mendasarkan pada pemikiran al-Farabi dengan cukup kental. [32] Kedekatannya dengan al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua dalam filsafat di mana guru pertamanya adalah Aristoteles telah memberi warna tersendiri bagi metode filsafat Ibnu Bajjah.

Salah satu pemikiran Ibnu Bajjah adalah tentang empat tipe mahluk spiritual. Tipe pertama adalah bentuk-bentuk dari benda-benda langit (forms of the heavenly bodies) yang sama sekali bersifat imateriil. Ibnu Bajjah menyamakan tipe ini dengan akal-akal terpisah (separate intelligences) yang dalam kosmologi Aristotelian dan Islam diyakini sebagai penggerak benda-benda langit. Tipe kedua adalah akal capaian (mustafad) atau akal aktif yang juga bersifat immateriil. Tipe ketiga adalah bentuk-bentuk materiil yang diabstraksikan dari materi. Sedangkan tipe yang keempat adalah representasi-representasi yang tersimpan dalam tiga daya jiwa: sensus communis, imajinasi dan memori. Seperti bentuk-bentuk materiil, bentuk-bentuk ini juga dinaikkan ke tingkat spiritual melalui fungsi abstraktif yang terdapat pada jiwa manusia. Puncak dari fungsi abstraktif ini ialah pemikiran rasional.

Tokoh filsafat perpatetik lainnya adalah Ibnu Tufail yang lahir di Wadi ‘Asy dekat Granada. Salah satu karya yang cukup terkenal dari Ibnu Tufail adalah sebuah roman yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Judul karya ini memang sama dengan dengan karya yang telah dibuat sebelumnya oleh Ibnu Sina. Dalam buku ini, Ibnu Tufail menekankan kebijaksanaan timur yang dapat diidentifikasikan sebagai tasawuf yang saat itu banyak ditolak oleh banyak filsuf, termasuk Ibnu Bajjah. Melalui karyanya ini, Ibnu Tufail mengaku dapat memecahkan pertentangan yang timbul antara filsafat dan agama atau akal dan iman. Dua hal yang bertentangan ini dapat diumpamakan sebagai kebenaran internal dan kebenaran eksternal yang pada prinsipnya sama-sama kebenaran. Namun dua macam kebenaran ini tidak bisa digeneralisasikan untuk siapa saja tanpa melihat kecerdasan yang dimiliki oleh orang bersangkutan. Karena kebenaran filsafat hanya dapat dicapai oleh orang-orang khusus yang memiliki kecerdasan yang tinggi maka ia tidak bisa diberikan begitu saja kepada orang awam. Sementara kebenaran agama yang melalui kitab suci Alquran yang menggunakan bahasa inderawi dan makna-makna harfiah akan dapat dengan mudah difahami oleh orang pada umumnya (awam).

Ibnu Rushd merupakan tokoh puncak dalam aliran filsafat peripatetik. Karena perkembangan filsafat paska Ibnu Rushd sudah mengambil jalan yang lain, yakni Iluminasi. Ia lahir pada 1126 M di Kordoba dan mempelajari banyak bidang, mulai bahasaArab, fikih, kalam hingga kedokteran. Seorang khalifah pernah memerintahkannya untuk menjelaskan karya-karya Aristoteles karena sangat sulit untuk dipahami. Ibnu Rushd menulis komentar secara komprenhensif mengenai karya-karya Aristoteles kecuali politics. Karya Aristoteles, Physics, Metaphysics, De Anima, De Coelo dan Analytica posteriora dikomentari oleh Ibnu Rushd dalam tiga versi, “komentar lengkap”, “komentar sedang” dan “komentar singkat.” Karya-karya Ibnu Rushd yang lebih orisinal dapat kita baca pada polemiknya dengan Imam al-Ghazali tentang kesesatan para filsuf pada Tahafut al-Tahafut (kerancuan dari buku Tahafut karya al-Ghazali). Atau pada Fashl al-Maqal dan al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah yang menyerang teologi al-Asy’ary dan menjelaskan hubungan filsafat dan agama yang sangat hangat pada saat itu.

Dalam perdebantannya dengan para teolog mengenai penciptaan, Ibnu Rushd banyak diinspirasikan oleh pandangn Aristoteles. Menurut Ibnu Rushd, ‘penciptaan’ merupakan tindakan menggabungkan materi dengan bentuk atau teraktualisasinya potensi menjadi aktus. Jadi penciptaan bukanlah sesuatu yang berasal dari ketiadaan (creatio ex nixilo). Pandangan Ibnu Rushd yang ia petik dari buah pikiran Aristoteles ini berimplikasi pada proses tergabungnya bentuk dengan materi. Tuhan dalam hal ini menjadi pencipta unsur-unsur dari gabungan itu sendiri, yang tak lain adalah alam semesta. Pengabungan ini dapat berlangsung secara terus-menerus atau sekaligus. Bagi Ibnu Rushd, hanya penciptaan yang terus-menerus (ihdats da’im), seperti yang ia katakan dalam Tahafut al-Tahafut yang layak bagi penciptaan alam.

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!