Pertautan Dengan Kebudayaan Pra-Islam

Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat pada 632 M, para shahabat berkumpul di Majlis Bani Tsaqifah untuk memilih seorang khalifah (pengganti Nabi). Melalui sebuah proses konsensus yang cukup panas dan menegangkan akhirnya muncul Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah pertama umat Islam. Estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab. Pada masa Umar terjadi gelombang ekspansi untuk pertama kalinya. Tahun 635 M, kota Damaskus jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Tahun 641, Aleksandria menyerah pada tentara Islam di bawah pimpinan ‘Amr Ibn al-‘Ash. Singkat kata, dengan terjadinya gelombang ekspansi pertama ini, semenanjungArab, Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Paska Umar, kekhalifahan dilanjutkan oleh Utsman ibn Affan, mantu Nabi Muhammad Saw. Namun karena terjadi kecemburuan kekuasaan akibat dari sikap nepotisme Utsman, kekuasaannya diakhiri dengan pembunuhan terhadap dirinya. Kekhalifahan umat Islam saat itu betul-betul mengalami ujian berat. Kemudian tampil Ali sebagai pengganti Utsman. Namun kepemimpinan Ali telah membuat kecewa kubu Utsman karena tidak berhasil mengusut kematian Utsman hingga tuntas. Kepemimpinan Ali ini menjadi puncak dari sistem kekhalifahan dalam sejarah Islam yang kemudian akhirnya digantikan dengan sistem dinasti.

Setelah terjadi perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah yang menjadi gubernur Damaskus saat itu, konflik kekuasaan di tubuh kekhalifahan memuncak hingga akhirnya Ali pun dibunuh oleh kelompok yang berasal dari kubunya sendiri karena telah menerima tahkim (arbitrase) dari pihak Mu’awiyah. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal.

Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih sembilanpuluh tahun dan kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah (keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Muttallib – Paman Nabi). Bani Abbasiyah diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah, SemenanjungArabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan dan sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India. Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada pengembangan pengetahuan.

Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar Bait al-hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan yang sangat bagus sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat. Para penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.

Buku-buku yang ditejemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber pengetahuan dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam selanjutnya. Dan perlu dikui bahwa di antara banyak pengetahuan dan kebudayaan yang ditejemahkan ke dalam bahasaArab, karya-karya klasik Yunani adalah yang paling banyak menyita perhatian. Khususnya karya-karya filsuf besar Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Beberapa karya dari kebudayaan Persia dan India hanya meliputi masalah-masalah astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran agama. Seperti karya Al-Biruni (w. 1048), sejarahwan dan astronom muslim terkemuka, Tahqiq ma li Al-Hind min Maqulah (Kebenaran Ihwal Kepercayaan Rakyat India). Dalam tulisannya itu ia menguraikan kepercayaan fundamental orang-otang Hindu dan menyejajarkannya dengan filsafat Yunani. Atau terjemahan Ibn Al-Muqaffa’ (w. 759) yang berjudul Kalilah wa Dimnah (Fabel-fabel Tentang Guru) diterjemahkan dari bahasa Sanskerta yang merupakan penegetahuan sastra Persia.

Seperti yang dikatakan oleh Shaliba dalam bukunya, Al-falsafah Al-‘arabiyah, terbentuknya filsafat Islam terjadi dalam dua tahap. Pertama tahap penerjemahan dan kedua tahap produksi pengetahuan atau pemikiran. Setelah melewati tahap penerjemahan maka mulailah bermunculan filsuf-filsuf Islam yang mengambil jalur metode filsafat Yunani seperti yang dimulai dari al-Kindi hingga Ibnu Khaldun. Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi. ] Jadi filsafat Islam sebenarnya adalah adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau Helenisme. Sementara Shaliba yang kurang lebih sependapat dengan pendapat Rahman, ia mengatakan bahwa salah satu perbedaan filsafat Islam dengan Yunani ada pada maksud dan tujuannya. Menurutnya, tujuan dari filsafat Yunani adalah lebih dilatarbelakangi nilai estetis sementara dalam filsafat Islam karena dorongan ajaran agama (Islam.

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!