Tahapan-Tahapan Tasawuf

VII. Tahapan-Tahapan Tasawuf
Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-Sa’aadah”
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari:
1. Syari’at, Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid AbuBakarAl-Ma’ruf dengan mengatakan“Syari’atadalahsuruhanyangtelahdiperintahkanoleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.” Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL-Kurdiy mengatakan: “Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-Qur’an dan Sunnah ataupun dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.” Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid; meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan dalam perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah; dan meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh. Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah mahdhah” atau taqarrub (ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama manusia dan makhluk lainnya, yang disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah” (ibadah umum). Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi
sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu berusaha melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan
Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam
pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid. Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.

2. Tarekat, Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau “Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan. Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu esimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian
a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat” dan “Al-Ahwaal”.
b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu.Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut ...
..“Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk tidak sama. Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi:
a). Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.
b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia,dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.
2. Hakikat.Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan : “Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya”.
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan: “Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan ditakdirkan,disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada hamba-Nya”. Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena
itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya:
2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal”. Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.
3. Marifat. Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan:
“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya”.
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan: “Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada hamba-Nya”. Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu
menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal”. Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat
kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!