Motivasi Gerakan Penerjemahan

Setidaknya ada dua motivasi yang mendorong gerakan penerjemahan yang sudah dimulai sejak zaman Bani Umayah dan kemudian menemukan puncaknya pada dinasti Bani ‘Abbasiyah. Pertama motovasi praktis dan kedua motivasi kultural. Pada motivasi yang pertama (ba’its ‘amali), ada kebutuhan pada bangsaArab saat itu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam. Pengetahuan-pengetahuan tersebut secara praktis dapat membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan dengan hajat hidup umat Islam ketika itu. Yang dimaksud dengan pengetahuan-pengetahuan luar yang dibutuhkan oleh umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu Kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan falak (astronomi. Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan hajat hidup umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu Shalat, hukum faraidl (pembagian harta waris), masalah kesehatan dan lain sebagainya.

Motivasi yang kedua adalah motivasi kultural (ba’its tsaqafi). Ada kebutuhan pada masyarakat Islam untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan Persia, Yunani untuk menguatkan sistem hukum Islam dan menangkal aqidah yang datang dari luar Islam. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu. Umat Islam dianjurkan untuk mempelajari logika Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari luar.

Selain itu ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Ibn al-Nadim tentang motivasi penerjemahan buku-buku filsafat pada masa kekuasaan khalifah al-Ma’mun. Ia menceritakan bahwa pada suatu malam, khalifah al-Ma’mun bermimpi berjumpa dengan seorang laki-laki yang memakai pakaian putih, jidatnya botak, alisnya menyambung dan mata agak kebiru-biruan. Laki-laki ini duduk di atas singgasana khalifah al-Ma’mun. Kemudian khalifah al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki itu, “siapa engkau?”. Laki-laki itu menjawab “aku Aristoteles.” Dalam mimpi itu, khalifah al-Ma’mun merasa sangat senang karena dapat bertemu dengan filsuf yang menjadi pujaannya. Kemudian al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki yang mengaku sebagai Aristoteles, “wahai sang filsuf, aku ingin bertanya, apa itu ‘baik’?” Laki-laki itu menjawab: “baik itu adalah apa yang baik menurut akal.” “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf ?”, khalifah bertanya lagi. “apa yang baik menurut syari’at” laki-laki itu menjawab lagi. “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf?” khalifah bertanya lagi. “Apa yang baik menurut kebanyakan (jumhur)” laki-laki itu menjawab, dan tidak ada setelah itu.

Sepintas lalu mungkin kita akan menyimpulkan bahwa mimpi khalifah al-Ma’mun itu hanya sekedar bagian dari kembang tidur semata. Namun Ibn al-Nadim, dalam bukunya al-Fihrist, sangat meyakini bahwa mimpi itu menjadi motivator yang cukup kuat bagi al-Ma’mun untuk menggerakkan penerjemahan pada masa kekuasaannya. Sampai-sampai ia mengirim surat kepada raja Romawi untuk meminta izinnya agar buku-buku yang ada di kerajaan Romawi dapat diterjemahkan oleh para penerjemah yang ada di perpustakaan Bait al-Hikmah. Namun dalam catatan yang lain, gerakan penerjemahan itu buka semata-mata karena mimpi yang dialami oleh sang khalifah, melainkan lebih dikarenakan dari hasil renungan atas mimpi itu bahwa proses penerjemahan yang ia lakukan itu baik dari perspektif nalar maupun syariat. Selain itu mungkin saja terjadinya mimpi itu juga dikarenakan oleh kecenderungan sang khalifah pada mazhab mu’tazilah.

Di balik gencarnya penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh umat Islam pada masa itu, ada sebuah bidang yang tidak terlalu diminati, yakni bidang sastra, seperti karya Homerus. Mengapa? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Di antaranya adalah karena adanya keyakinan dalam masyarakatArab bahwa sastraArab bersifat self sufficient, sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan buku-buku sastra yang ada dalam bahasa Yunani. Selain itu sastra juga tidak memberikan pengaruh apa pun tehadap proses penguatan aqidah umat Islam. Namun argumentasi ini tidak terlalu kuat karena pada sisi yang lain umat Islam cukup gemar menerjemahkan buku-buku sastra yang berasal dari kebudayaan Persia dan India yang kebetulan beragama Majusi dan Dahriah. Sehingga muncul alasan yang lain bahwa tidak adanya minat umat Islam untuk menerjemahkan karya sastra Yunani lebih dikarenakan tidak cocoknya karya sastra Yunani bagi masyarakatArab bila dibandingkan dengan karya sastra dari Persia dan India. Sehingga dengan demikian, alasan tidak berkembangnya penerjemahan sastra Yunani tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja.

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!