Cirebon sebagai basis pertama daerah penyebaran islam di jawa barat

Sejak di Cirebon Girang pada 1336 M ditemukan terdapat beberapa masyarakat yang sudah memeluk agama islam yang berhubungan dengan masyarakat luar, maka dalam perkembangannya ditempat ini berdiri pelabuhan muara djati sebagai pelabuhan utama dipesisir Cirebon.


Unang Sumardjo menyatakan, dipelabuhan Muara Djati yang secara teritorial merupakan bagian dari negeri Singapura yang pada masa itu dibawah kekuasaan kerajaan Galuh. Dipelabuhan Muara Djati tepatnya pada tahun 1415-1422 M terdapat beberapa peristiwa yang penting diantaranya :
Pada 1415 M ke pelabuhan telah berlabuh kapal-kapal armada Te-Ho dengan sekertarisnya bernama Ma Huang. Selanjutnya, Ma Huang menetap dan kawin dengan Nyi Rara Rudra saudara Ki Gedeng Kapa.
Pada 1418 M berlabuhnya rombongan pedagang dari Campa dimana didalamnya terdapat Syekh Hasanudin Bin Syekh Yusuf Sidik telah tinggal beberapa saat di Singapura lalu pergi ke Karawang dan mendirikan pesantren Quro.
Pada tahun 1418 M Mangkubumi Singapura yang merangkap sebagai Syahbandar Muaradjati yaitu Ki Gedang Tapa sebagai akibat perkenalannya dengan Syekh Hasanudin yang telah masuk atau memeluk agama islam.

Masih pada tahun 1418 M puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyi Subang Larang bersama Rara Rudra etelah kepulangannya dari Malaka sempat tinggal di Singapura dan belajar ilmu agama islam di pesantren Quro.
Pada 1420 M Syekh Datuk Kahfi bersa 12 orang lainnya datang ke pelabuhan Muara Djati untuk tinggal di Singapura sampai akhir hayatnya.
Puteri ki Gedeng Tapa yaitu Nyi subang Larang menikah dengan Raden Pamanah Rasa (Raden Jayadewata atau Prabu Siliwangi)

Selanjutnya, sejak tahun 1470 M di Cirebon telah banyak penduduk yang menganut agama islam. Bersamaan itu pula, pada tahun tersebut syarif hidayatullah tiba di Cirebon untuk mengajarkan agama islam. Kedatangan syarif hidayatullah di Cirebon telah membawa pengaruh positif terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Cirebon. Tentang kedatangan Syarif Hidayatullah tersebut Dadan Wildan mengatakan:
“…Dalam perjalanannya ke Cirebon ia singgah di Pasai dan tinggal bersama maulana ishak. Ketika tiba di pelabuan muara jati (Cirebon) kemudian terus ke desa sembung-pasambagan, dekat Giri Amparan Djati…pada 1470. disana ia mengajar agama islam menggantikan syekh datuk kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian di gelari syekh Maulana Jati atau Syekh Djati. Syekh djati juga mengajar di dukuh Babadan…”

Ki Samadullah sendiri yang pada dasarnya merupakan Ua-nya, sebagai pengasa Cirebon seperti yang telah di kemukakan oleh Unang sunardjo sangat menerima kedatangan Syarif Hidayatullah. Sebagai keponakannya Syarif Hidayatullah kemudian ditempatkan di Dukuh Sembung dekat Pasambangan dengan mendirikan Pesantren.
Sejak berdirinya, Cirebon secara politis berada dalam lingkungan kerajaan Galuh. Pada 1479 Syarif Hidayatullah dianggkat oleh Raja Dewa Niskala (Raja Galuh) menjadi penguasa daerah Cirebon dengan pangkat tumenggung atau susuhunan Djati, sampai kemudian melepaskan ikatannya dengan kerajaan Galuh dan menyatakan Cirebon berdiri sendiri. Selanjutnya ia oleh para wali sepulau jawa diberi kekuasaan menjadi panetep panata gama islam seluruh tanah jawa dengan berkedudukan di Cirebon.
Mengenai hal ini ahmad mansur suryanegara mengilustrasikan :
“ adapun gelar susuhunan diperoleh setelah 9 tahun kemudian, ketika diangkat sebagai tumenggung di Cirebon. Selain itu sunan gunung Djati juga disebut sebagai raja pendeta yang pengertian sama dengan khalifah. Jabatan ini di pegang selama 47 tahun, dan kemudian di serahkan kepada puteranya yakni pangeran pasarean”.
Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Ahmad Mansur Suryanegara, soenarjo yang dikutip dadan wildan, pun menuturkan :
“ dicerebon, aktivitas SGD yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagi salah seorang wali songo lebih memprioritaskan pada pengembangan agama islam melalui dakwah, salah satunya adalah menyediakan sarana ibadah keagamaan dengan mempelopori pembangunan mesjid agung dan mesjid jami di wilayah bawahan Cirebon. Untuk menjalankan roda pemerintahan dan aktivitas masyarakat di bangun sarana dan prasarana umum, seperti kraton, sarana transportasi melalui jalan laut, suingai dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan (pasukan jaga baya) yang jumlah dan kualitasnya memadai baik untuk dipusat kerajaan maupun diwilayah – dan prasarana SGD memberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya di sederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat…”

Berdasarkan uraian tersebut diatas sangatlah beralasan apabila dikatakan Cirebon sebagai daerah yang pertama sekali menerima sentuhan islam di Jawa Barat yang sekaligus basis pertama dari penyebaran agama islam. Dengan memperhatikan pigur Ki Samadullah sebagai pendiri kota ini yang notabene seorang ulama karena murid syekh Datuk Kahfi dan sosk Syarif Hidayatullah yang juga ulama maka dapat di prediksikan bahwa sasaran utama dari program pemerintahannya adalah penyebaran islam di seluruh pesisir Cirebon. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila Cirebon dikatakan disamping sebagai negeri islam pertama di Jawa Barat juga daerah yang pertama sebagai basis penyebaran agama islam di jawa Barat.

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!