Takwil adalah kata benda infinitif dari kata kerja transitif, awwala, yang berarti membuat sesuatu itu kembali atau mengurangi sesuatu, yang berarti "menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, mengembangkan, atau membuka, atau menjelaskan, menggambarkan, atau menterjemahkan tentang sesuatu atau mungkin menguranginya atau tentang sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi.". Sebagaimana al-Jurzani mendefinisikan :
التأويل في الأصل: الترجيع. وفي الشرع: صرف اللفظ عن معناه الظاهر إلى معنى يحتمله، إذا كان المحتمل الذي يراه موافقاً للكتاب والسنة، مثل قوله تعالى: " يخرج الحيَّ من الميت " إن أراد به إخراج الطير من البيضة كان تفسيراً، وإن أراد به إخراج المؤمن من الكافر، أو العالم من الجاهل، كان تأويلاً.
Memang takwil sudah popular ditelinga dan dipahami dibenak masyarakat Indonesia selalu disandingkan dengan mimpi, begitulah adanya. Bukannya hanya mimpi yang memerlukan penakwilan, namun Alquran pun sangat memerlukannya, Cuma bedanya penakwilan Alquran dibatasi harus sesuai dengan al-Kitab dan al-Sunnah, sedangkan penakwilan mimpi kadang dikaitkan dengan sesuatu yang aneh dan tidak masuk diakal. Sebenarnya tidak ada hubungan mimpi coplok gigi akan mendapatkan musibah, mimpi menjaring ikan akan mendapatkan rejeki dan sebagainya, itu hanya piling dan spekulasi karena sering terjadinya. Janganlah merasa aneh jika suatu saat bermimpi seperti itu, ternyata tidak terbukti.

Takwil Alquran sebenarnya hanya perluasan makna spiritual dari kehendak penafsiran Alquran. Penakwilan dilakukan agar mengkaper semua bukti nyata (dzilalah dhzahiri) dari sebuah penafsiran, dimana penafsiran sebatas menguraikan makna dzahir namun penakwilan berusaha melahirkan sesuatu yang mungkin dari makna dzahir tersebut dan tidak keluar dari koridor Alquran dan al-Hadits. Seperti dicontohkan di atas, firman Allah “Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati” penafsiran sebatas hanya mengungkapkan makna dzahir yaitu misalnya telur mengeluarkan burung. Namun penakwilan memberikan ruang yang luas untuk bereksplorasi asal tidak keluar dari koridor Alquran dan al-Hadits, misalnya orang kafir menjadikan mukmin, orang bodoh menjadi pintar, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, istilah takwil ini tidak perlu muncul dan berbeda pengertiannya dengan tafsir, karena penjelasan takwil di atas adalah itulah yang dimaksud dengan tafsir. Paling juga takwil itu sinonim tafsir, sebagaimana penyusun kitab kamus al-Muhith mengatakan bahwa :
التَّفْسيرُ والتَّأويلُ واحدٌ
“Tafsir dan takwil itu satu arti”
Sepertinya ruang gerak tafsir dalam menguraikan Alquran terbatasi oleh takwil dan takwil melengkapi dari apa yang telah tafsir jelaskan. Padahal jelas tafsir diharapkan mampu memberikan solusi bagi berbagai problema manusia, tidak hanya sebatas menjelaskan maksud dangkal dari Alquran, namun semua penjelasan selama tidak bertentangan dengan Alquran itu sendiri dan al-Hadits, itulah tafsir. Tafsir tidak terbatasi apapun dalam menjelaskan Alquran dalam berbagai bidangnya, tafsir selalu berusaha menjelaskan maksud terdalam dari setiap ayat Alquran.
Alquran sendiri menggunakan Istilah takwil seperti dalam surah Yusuf (12):101 hanya untuk menunjukkan arti penterjemahan sesuatu yang simbolik (seperti mimpi).
وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ اْلأَحَادِيثِ
“Telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi”

Sebagaimana dijelaskan oleh al-Bughawi "وعلمتني من تأويل الأحاديث"، يعني: تعبير الرؤيا bahwa yang dimaksud takwil tersebut adalah ta’bir mimpi. Atau menjelaskan penuturan hasil akhir atau hasil yang terjadi sesudahnya, dapat juga berarti akibat terakhir ('aqibah) dari sesuatu, seperti dalam Ali Imran (3):7
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah”
Sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Qadir takwil di atas adalah:
والدليل على ذلك قوله : "هل ينظرون إلا تأويله يوم يأتي تأويله" أي: يوم يرون ما يوعدون من البعث والنشور والعذاب
Menjelaskan penuturan akibat dari seuatu, ketika orang-orang melihat dan merasakan bangkit kembali dari kubur, dan siksaan bagi yang maksiat sebagaimana telah dijanjikan kepadanya di dunia.
Penulis memandang, seperti itulah peran takwil dalam ikut membantu menjelaskan makna yang dikandung oleh Alquran, hanya sebatas apa yang telah dijelaskan di atas.
Penakwilan yang sudah dilakukan oleh misalnya Al-Tabari, tentang hakekat dan arti Iblis dalam Al-Baqarah (2):34. Ayat itu berbunyi:"Maka mereka bersujud kecuali Iblis, ia menolak dan berlaku sombong sehingga ia masuk kedalam golongan kafirin." diaplikasikan kepada makhluk lain yang terlalu sombong dalam mengikuti perintah-perintah Tuhan, dan mereka yang terus-menerus dalam keadaan tidak taat, juga kiasan (metafora) dari arogansi, kecemburuan, dan penolakan dengan penuh keangkuhan untuk berserah diri kepada perintah-perintah Tuhan, dan karena itu sama dengan mereka yang mengingkari rahmat Allah dan yang menyukai mereka. Abi Talib al-Thalabi menakwilkan kata mirsad dari kalimat inna rabbaka labi-l-mirsad (al-fajr :14) adalah suatu peringatan agar tidak menjauhkan diri dari perintah-perintah Tuhan, tidak lupa pada rahmat-Nya dan selalu bersiap sedia untuk mengingatNya. Muhyi al-Din Ibn al-Arabi menakwilkan kata bizulmin dalam al-An'am (6):82 yang berbunyi: wa lam yalbisu imanahum bizulmin, bahwa zulm disini menunjuk kepada syirik yang tersembunyi (syirk khafi). Contoh dari syirik yang tersembunyi adalah cerminan negatif dari hati (dhuhur min nafs al-qalb) atau bahkan bekas-bekas keberadaannya (wujud baqiyah).

Penakwilan-penakwilan di atas menurut penulis sudah termasuk ke dalam esensi tafsir, dengan penakwilan di atas, seolah-olah tafsir memiliki peran terbatas, tidak bisa menjangkau sampai hal-hal sedemikian itu atau bahkan tidak boleh merambah ke wilayah tersebut, sehingga orang-orang akan skeptis dalam memahami kandungan yang mendalam dari Alquran.

Referensi :
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal. 9
Al-Suyuthi, al-Itqan, (Maktabah Syamilah, tt)
Al-JurJani, al-Ta’rifat, (Maktabah Syamilah, tt)
Al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, (Maktabah Syamilah, tt)

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!