TEORI KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Teori adalah himpunan prinsip-prinsip dan observasi yang saling berhubungan (Tan, 1981). Logika membantu ilmuan untuk membangun teori. Suatu teori merupakan suatu himpunan hukum atau prinsip yang umum (hipotesis yang dapat diuji berulang-ulang) tentang beberapa aspek realitas yang saling berhubungan.
Fungsi sebuah teori adalah untuk menjelaskan, meramalkan dan menemukan hubungan yang sistematis antara fakta-fakta. Teori dapat memberi kita tatanan pandangan yang sederhana (bukan melalui penyederhanaan) terhadap relitas. Teori ini merupakan penyajian abstraksi relitas ilmuan.

Teori terkadang dipakai sebagai sinonim "ilmu". Cohen dan Nagek mendefinisikan ilmu sebagai "pengetahuan yang umum dan sistematis dengan proposisi-proposisi spesifik, seluruhnya dideduksi dari prinsip-prinsip umum". Seperti definisi kita tentang teori, definisi tersebut sangat baik. Kendati pada akhirnya terdapat suatu perbedaan. Sekalipun kita dapat membicarakan tentang ilmu konunikasi, tampaknya tidak cukup mengacu hanya pada suatu teori komunikasi. Dalam hal ini tidak hanya ada satu teori komunikasi (sama juga halnya hanya ada satu teori dalam satu bidang studi). Bahkan yang ada adalah beberapa teori dalam satu bidang yang bersaing, menawarkan penjelasan alternatif untuk satu fenomena yang sama. Teori yang beragam tersebut, bersatu dan menggambarkan pengetahuan yang telah berakumulasi, dapat ditunjuk sebagai ilmu dalam bidangnya.
Proses komunikasi juga harus melibatkan interaksi simbolis. Manusia menciptakan pesan dengan simbol-simbol, dan pertukaran pesan dihasilkan dalam efek kebersamaan menciptakan saling ketergantungan. Dengan demikian, setiap fenomena yang melibatkan interaksi simbolis dapat dipertimbangkan dengan tepat untuk dimasukkan kedalam kerangka multidisipliner.
Teori komunikasi, seperti umumnya teori sosial lainnya, terikat budaya. Teori juga harus memiliki latar historis dan kultural tertentu yang relevan. Tetapi, selama masa pembentukkan teori sosial yang empirik, kaum positivis berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial hendaknya berusaha mencapai taraf ketepatan dan universalitas yang sama dengan yang sudah dicapai oleh ilmu-ilmu alam. Dalam komunikasi, ini berarti bahwa kaum positivis menitik beratkan pembentukan hipotesis yang dikonstruksikan secara formal, metode pengujian empiris, dan berusaha membentuk sekumpulan generalisasi teoritis yang universal dengan dukungan temuan empirik.

Tetapi, dalam prakteknya, usaha-usaha tersebut adakalanya menghasilkan apa yang bisa dianggap sebagai empirisme yang naif dan universalisme yang belum mantap. Kalau tidak seluruhnya, umumnya hipotesis dihadirkan oleh para ilmuan sosial barat. Banyak hipotesis berasal dari pengalaman historis barat yang diambil dari metode penelitian khalayak dalam periklanan yang berpusat pada dimensi persuasif proses komunikasi. Metode ini juga bias karena bertumpu pada pandangan sistematik mengenai hubungan komunikatif dan sosial yang menitikberatkan metode penelitian kuantitatif. Sedangkan metode penelitian yang normatif, kualitatif, historis dan interpretatif dalam teori dan penelitian komunikasi, masih dalam perbincangan yang dianggap tidak ilmiah.
Salah satu aspek dari perspektif Islam terhadap komunikasi ialah penekanannya pada nilai sosial, religius dan budaya dengan penelitian partisipatoris. Asal usul penelitian partisipatoris ini merupakan salah satu aspek komunikasi antar persona yang boleh jadi merupakan bagian yang paling terikat kondisi sosio-religius-budaya dalam teori komunikasi. Komunikasi antar persona mencakup bidang yang berkaitan dengan pidato, tata cara pidato dan perilaku sosial, maupun ilmu mengenai gagasan ekspresi dan ilmu gaya bahasa yang merupakan bagian dari (kefasihan) retorika. Ilmu-ilmu ini penting untuk memelihara tatanan sosial-pilar dimana islam dijadikan sebagai jalan hidup.
Baik Alquran maupun Hadist telah menempatkan prinsip-prinsip dan metode komunikasi yang pasti diharapkan oleh komunikator Muslim. Sebagian prinsip dan metode tersebut dijelaskan dalam ayat berikut ini :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ(83
"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling." (Q.S. Al-Baqarah : 83).
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ(263
"Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." (Q.S. Al-Baqarah : 263).
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ(159)
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."(Q.S. Al-Imran : 159).
Hadist juga penuh dengan sejumlah prinsip komunikasi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Membicarakan tentang bagaimana komunikasi seharusnya berlangsung, Nabi SAW menganjurkan dengan sabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dalam Hadist yang dihimpunnya berikut ini :"Sebutkanlah apa-apa yang baik mengenai sahabatmu yang tidak hadir dalam pertemuan, terutama hal-hal yang kamu sukai terhadap sahabatmu itu sebagaimana sahabatmu menyampaikan kebaikan dirimu pada saat kamu tidak hadir".
Prinsip komunikasi semacam ini bisa membantu memelihara dan memperkuat perdamaian dan harmoni terhadap bangunan sosial yang merupakan bagian dari peradaban. Ibnu Khaldun yakin bahwa semua bahasa merupakan kebiasaan lidah untuk memenuhi kebiasaan lidah untuk memenuhi tujuan mengekspresikan gagasan. Baik buruknya ekspresi linguistik yang disampaikan bergantung pada sempurna tidaknya kebiasaan linguistik.
Komunikasi Islam didunia modern berpusat pada tiga masalah otoritas (dalam domain nasional), identitas (dalam domain personal), legitimasi (dalam kaitan politik antara negara dengan individu).
Masalah otoritas merupakan masalah yang sudah lama dalam Islam. Pada masa kejatuhan sejarah islam, masalah otoritas telah melahirkan perpecahan antara islam suni dan Syi'i. oleh karena itu, keyakinan akan kesatuan otoritas duniawi dan spritual merupakan sesuatu yang pada umumnya diterima baik oleh kaum Suni dan Syi'i.
Masalah "Identitas" dalam teori komunikasi islam sama rumitnya dengan masalah keanekaragaman interpretasi konservatif, liberal, dan revolusioner. Dalam hal ini, dalam perspektif Islam yang konservatif dan revolusioner tampaknya saling mendekat satu sama lain dari pada pandangan liberal. Sementara perspektif liberal tidak melihat adanya persoalan serius bagi muslim modern untuk menganut identitas yang beragam sebagai seorang muslim, Arab, Persia dan Turki. Sedangkan perspektif konservatif dan revolusioner mempertahankan keunggulan bila tidak ada kesatuan identitas islam.
Teori legitimasi dalam Islam modern sama halnya demi yang telah melahirkan keanekaragaman perspektif yang, demi kepentingan yang lebih praktis daripada kecermatan, bisa diberi julukan konservatif, revolusioner, dan liberal.

0 comments:

Post a Comment

anda berhak untuk berpendapat.. Silahkan berkomentar !!